Kamis, 11 November 2010

Database dan Potensi Wakaf

Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi (dua milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tiga puluh enam ribu enam ratus lima puluh enam koma enam puluh delapan meter persegi) atau 268.653,67 hektar (dua ratus enam puluh delapan ribu enam ratus lima puluh tiga koma enam tujuh hektar) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.

Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Dan ini merupakan tantangan bagi kita untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan tujuhan ajaran wakaf yang sebenarnya.


Jumlah tanah wakaf di Indonesia yang begitu besar juga dilengkapi dengan sumber daya manusia (human capital) yang sangat besar pula. Hal ini karena, Indonesia merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Oleh karena itu, dua modal utama yang telah dimiliki bangsa Indonesia tersebut semestinya mampu memfungsikan wakaf secara maksimal, sehingga perwakafan di Indonesia menajadi wakaf produktif dan tidak lagi bersifat konsumtif.

Belum lagi, potensi wakaf yang bersumber dari donasi masyarakat, atau yang biasa disebut wakaf uang (cash waqf). Jenis wakaf ini membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Wakaf jenis ini lebih bernilai benefit daripada wakaf benda tak bergerak, seperti tanah. Jika bangsa ini mampu mengoptimalkan potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.

Pengertian dan Istilah Wakaf Uang

Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Di Turki, pada abad ke 15 H praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat. Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada profitable business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk meimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji dll. Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.

Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berabagai cara.


Di Indonesia, sebelum lahirnya UU No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang, (11/5/2002).


   1.
      Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
   2.
      Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
   3.
      Wakafuang hukumnya jawaz (boleh)
   4.
      Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i.
   5.
      Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.



Ihwal diperbolehkannya wakaf jenis ini, ada beberapa pendapat yang memperkuat fatwa tersebut.


Pertama, pendapat Imam al-Zuhri (w. 124H.) bahwa mewakafkan dinas hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf 'alaih (Abu Su'ud Muhammad. Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h. 20-2 1).


Kedua, mutaqaddimin dari ulaman mazhab Hanafi (lihat Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-'Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas'ud r.a: "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk".

Ketiga, pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi'i: “Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi'i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”. (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al-Fikr,1994[, juz IX,m h. 379).
bwi.or.id

Sejarah dan Perkembangan Wakaf

Masa Rasulullah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di  Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Masa Dinasti-Dinasti Islam



Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.



Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.



Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.



Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.



Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.



Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.



Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan  dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.



Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.



Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.



Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.



Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.


Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Dasar Hukum Wakaf

Menurut Al-Quran

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

Wakaf Untuk Perumahan Rakyat

Indonesia adalah salah satu Negara yang dikenal dengan alamnya yang subur, namun kenyataannya masih ada sebagian masyarakat yang hidupnya masih memprihatinkan, sehingga memerlukan perhatian khusus. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk tidak memiliki tempat tinggal. Padahal setiap orang berhak mempunyai tempat tinggal yang aman dan layak, yakni tempat tinggal yang dapat melindungi kesehatan fisik dan mental serta kualitas hidup orang yang tinggal di dalamnya. Perumahan yang layak secara umum dapat dipandang sebagai salah satu kebutuhan paling mendasar bagi setiap manusia. Dukungan-dukungan dalam mewujudkan tempat tinggal dan pemukiman yang layak telah beberapa kali digerakkan oleh PBB dan Pusat Pemukiman Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini diawali dengan Deklarasi Vancover Tentang Pemukiman manusia yang disuarakan pada tanggal 1976, yang diikuti oleh aklamasi Tahun Internasional untuk tempat tinggal bagi orang yang tidak memiliki rumah (1987) dan Ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Strategi Global untuk Pemukiman hingga tahun 2000.  Hak atas perumahan yang layak mendapat pengakuan secara universal oleh masyarakat dari berbagai bangsa. Setiap bangsa tanpa terkecuali memiliki sejumlah kewajiban dalam masalah perumahan. Setiap warganegara dalam negara semiskin apapun, dirinya mempunyai hak untuk diperhatikan kebutuhan mereka atas perumahan.

Di Indonesia, hak menempati atau memiliki rumah yang layak huni, selain diatur dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM sebagaimana sudah dikemukakan, juga diatur dalam TAM MPR No. XVII/1998 Pasal 29 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992. Hal ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi setiap warnanegara. Sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa, pada saat ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat memiliki beberapa program yang erat kaitannya dengan penyediaan perumahan rakyat yang kurang mampu, seperti program pembangunan rusunami dan rusunawa. Akan tetapi sehubungan dengan banyaknya penduduk yang harus ditangani dan keterbatan pemerintah dalam menyediakan dana, komitmen pemerintah tersebut belum dapat direalisasikan secara optimal. OLeh karena itu, untuk membantu program-program pemerintah dalam menyediakan tempat tinggal kaum dlu’afa, sudah saatnya kita mengembangkan wakaf secara produktif.



Di negara-negara yang sudah mengembangkan harta wakafnya dengan baik, ternyata hasil pengembangan wakafnya dapat dipergunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan membantu permasalahan kaum dlu’afa, termasuk menyiapkan perumahan bagi mereka. Sebagai contoh misalnya, Kuwait, Turki, dan lain-lain.    Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah tanah wakafnya cukup banyak dan luas. Berdasarkan data yang ada di Departemen Agama RI pada bulan Maret 2008 di Indonesia terdapat 430,766 lokasi dengan luas 1,615,791,832.27 meter persegi. Sayangnya, tanah yang begitu luas tersebut tidak dikembangkan secara produktif, sehingga wakaf yang seharusnya dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan perekonomian umat, kadangkala justru sebaliknya, yakni menjadi beban masyarakat, baik dari segi pemeliharaannya maupun dari segi permasalahan yang muncul. Bahkan tidak jarang kita temui masjid yang tidak dipelihara dengan baik oleh para nazhir, sehingga untuk mengurus dan melestarikannya diperlukan bantuan masyarakat melalui kotak amal yang diedarkan di tengah jalan raya, atau ada tanah wakaf yang dikarenakan kelengahan dari nazhir, akhirnya wakaf diserobot oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini perwakafan di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Alhamdulillah pada saat ini kita sudah memiliki Undang-undang Tentang wakaf, yakni Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.



Jika diperhatikan, definisi yang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut tidaklah begitu berbeda dengan definisi yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, atau definisi yang dipilih oleh Mundzir Kahaf. Definisi yang ada dalam Undang-undang Tentang Wakaf mengandung muatan ekonomi, karena dalam definisi itu disebutkan bahwa wakaf berarti memindahkan harta dari sesuatu yang bersifat konsumsif menjadi produktif dan menghasilkan sesuatu yang dapat dikonsumsi di masa yang akan datang. Harta wakaf produktif ini menghasilkan pelayanan dan manfaat, seperti masjid, rumah sakit, sekolahan, dan lain-lain. Di samping itu, wakaf juga dapat menghasilkan barang atau pelayanan lainnya yang dapat dijual kepada para pemakai dan hasil bersihnya dapat disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian, wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi di masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan dan pemanfaatan hasilnya secara langsung. Semua bentuk wakaf yang telah disebutkan itu menjadi saham, dan bagian atau unit dana investasi. Sistem wadiah untuk tujuan investasi di bank-bank Islam merupakan bentuk wakaf modern yang paling penting, karena wakaf seperti itu dapat memberi gambaran tentang kebenaran dimensi ekonomi wakaf dalam Islam. Hal ini sebenarnya pernah dipraktikkan oleh para sahabat, bermula dari wakaf sumur Raumah oleh Utsman bin ‘Affan r.a., wakaf tanah perkebunan di Khaibar oleh Umar bin Khattab, r.a., kemudian disusul dengan wakaf tanah, pohon-pohonan dan bangunan oleh para sahabat lainnya. Paradigma wakaf seperti ini juga telah dinyatakan oleh para Imam Mazhab pada abad 2 dan 3 Hijriyyah dalam beberapa kajian dan uraian fikih mereka. Hal ini tidak lain karena saham dan wadiah mengandung makna investasi yang bertujuan mengembangkan harta produktif untuk dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, sedangkan investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi.

Dalam Undang-Undang Tentang Wakaf, selain wakaf produktif juga diatur tentang wakaf uang. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis. Dalam ayat (2)  Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Proses pelaksanaan wakaf uang ini diatur secara jelas dalam Pasal 22 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 sebagai berikut: Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
a. hadir di Lembaga Keuangan Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
b. menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
c. menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai AIW.
      
Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya. Hal ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 22 ayat (4). Dalam ayat (5) Pasal yang sama disebutkan bahwa Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan AIW tersebut kepada LKS-PWU. Di samping Pasal tertsebut, masih cukup banyak pasal-pasal yang berkenaan dengan perwakafan wakaf uang dan wakaf bergerak lain serta peraturan untuk mengembangkannya.



Pengelolaan  wakaf produktif dan wakaf uang memang tidak mudah, karena dalam pengembangannya harus melalui berbagai usaha, dan usaha ini mempunyai resiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, khususnya wakaf produktif dan wakaf  uang harus dilakukan oleh nazhir yang profesional. Diharapkan nadzir benar-benar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat. Untuk mendapatkan nazhir yang mampu mengembangkan wakaf secara produktif tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh karena itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, harus ada lembaga yang siap melakukan pelatihan bagi calon nadzir.

Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Tentang wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Adapun tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1). Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Adapun ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam Pasal 50 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.   Berdasarkan Undang-undang Tentang Wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia menuju era produktif, yaitu wakaf yang dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umum.

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, jelas bahwa pada  saat ini umat Islam khususnya dan masyarakat umumnya dapat mengembangkan wakaf secara produktif, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak. Apabila wakaf yang ada di Indonesia dikembangkan secara produktif, penulis yakin hasil dari pengembangan wakaf tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat termasuk menyediakan perumahan rakyat bagi masyarakat yang tidak mampu, dengan catatan wakaf tersebut harus dikelola oleh nazhir-nazhir yang profesional. Mengenai wakaf untuk pembangunan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu, menurut penulis ada beberapa cara, pertama, yang bersifat langsung; kedua yang bersifat tidak langsung. Yang bersifat langsung, misalnya wakif mewakafkan sebidang tanah yang ditujukan untuk perumahan kaum dlu’afa, jika wakif tidak menyediakan dana untuk membangun rumah, nazhir mencarikan dana, dapat berupa dana wakaf atau dana lain untuk membangun perumahan bagi mereka. Sedangkan yang bersifat tidak langsung, tanah yang diwakafkan tersebut dikembangkan lebih dahulu oleh nazhir melalui pembangunan rumah mewah tentunya, hasil (keuntungan) dari pengembangan itulah yang dimanfaatkan untuk membangun perumahan rakyat yang tidak mampu. Dalam hal ini nazhir dapat bekerja sama dengan lembaga manapun, asal kerjasama tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Di samping dua cara tersebut, masih ada cara-cara lain, tergantung pada kreatifitas nazhir. Keberhasilan Kuwait, Turki dan lain-lain dalam mengembangkan wakaf untuk menyedikan perumahan bagi mereka yang tidak mampu selayaknya kita pelajari untuk kemudian kita ikuti.

Sebagaimana negara-negara lain, nazhir di Indonesia seharusnya juga mampu mengelola wakaf melalui berbagai investasi. Dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif, antara lain dengan melakukan investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, serta pendidikan atau kesehatan, dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (2) tersebut, nazhir diberi kesempatan untuk mengembangkan wakaf yang dikelolanya secara produktif sesuai dengan benda yang diwakafkan, tujuan wakif, dan keadaan mauquf ‘alaihnya. Yang paling penting dalam pengelolaan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan selalu berdasarkan syariat Islam.
bwi.or.id

Potensi Wakaf di Indonesia

Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, oleh karena itu setiap manusia sama derajatnya di hadapan Allah. Untuk merealisasikan  kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, harus ada kerja sama dan tolong menolong. Konsep persaudaraan tersebut tidaklah mempunyai arti kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat. Dengan komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan adalah bertentangan dengan Islam. Akan tetapi konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta keonsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang konstribusinya kepada masyarakat.

Islam toleran terhadap ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki …” (al – Nahl, ayat 71). Adanya perbedaan dalam kemampuan serta perbedaan dalam kesempatan dapat diduga sebagai sebab musabab dari perbedaan dalam rezeki yang mungkin diterima oleh seseorang. Akibat lebih lanjut adalah lahirnya golongan kaya dan golongan miskin dalam masyarakat.

Ada beberapa ayat dalam al – Qur’an yang memberi petunjuk dan pedoman bagi seseorang untuk membelanjakan hartanya, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan orang lain dalam masyarakat. Petunjuk itu antara lain terdapat dalam surat al – Isra’ ayat 26 : “Dan berikanlah bagi keluarga-keluarga dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” (al-Isra’, ayat 26). Dalam ajaran Islam ada beberapa lembaga yang dapat digunakan untuk menyalurkan sebagian harta seseorang kepada mereka yang memerlukan. Salah satu di antara lembaga-lembaga tersebut adalah wakaf. Wakaf adalah salah satu lembaga ekonomi Islam yang sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Di berbagai negara yang sudah mengembangkan wakaf secara produktif, lembaga tersebut dapat membantu pemerintah dalam menanggulangi berbagai masalah yang dihadapi, termasuk masalah kemiskinan. Salah satu masalah yang dihadapi fakir miskin adalah ketiadaan tempat tinggal yang layak. Dalam kesempatan penulis mencoba untuk membahas “potensi wakaf uang untuk pembangunan perumahan ini rakyat”.
bwi.or.id

Wakaf Produktif untuk Kesejahteraan Umat

Di beberapa negara Islam, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang mampu memperdayakan ekonomi rakyat. Yang menjadi pertanyaan adalah, di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, wakaf belum dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Padahal sampai saat ini kemiskinan masih menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang sangat menakutkan sehingga semua orang akan selalu berusaha memerangi kemiskinan. Indonesia adalah salah satu negara yang jumlah penduduk miskinnya masih memprihatinkan. Walaupun Pemerintah sudah berusaha untuk menanggulangi kemiskinan, namun sampai saat ini ternyata belum juga terselesaikan. Apalagi beberapa tahun terakhir, di Indonesia terjadi berbagai bencana, mulai dari tsumani di Aceh, gempabumi di Yogyakarta dan di beberapa daerah, tanah longsor, lumpur Lapindo, Jebolnya Situ Gintung, dan berbagai bencana yang lain. Bencana alam tersebut menyebabkan banyak orang kehilangan hartabenda, termasuk tempat tinggalnya. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa di negeri yang subur ini masih ada masalah yang harus ditanggulangi. Berdasarkan data yang ada pada Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2008, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 34,96 juta.  Jumlah ini merupakan jumlah yang membahayakan bagi negara apabila  tidak segera diatasi. Oleh karena itu, kemiskinan harus segera diperangi bersama-sama, antara pemerintah dan masyarakat, agar hidup warganegara Indonesia sejahtera.

Untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Akan tetapi sampai saat ini jumlah masyarakat miskin ternyata masih mengkhawatirkan, dan kesejahteraan masih jauh dari jangkauan sebagian dari masyarakat. Padahal setiap manusia di dunia ini mempunyai hak atas kesejahteraan, oleh karena itu dalam tataran idealis, setiap manusia seharusnya memperoleh hak atas kesejahteraan.  Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa salah satu hak yang harus dimiliki manusia adalah hak atas kesejahteraan. Salah satu hak dari hak-hak atas kesejahteraan adalah hak untuk bertempat tinggal. Dalam Pasal 40 Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Hal ini berarti bahwa sudah seharusnya setiap warga negara Indonesia mempunyai tempat tinggal yang layak, karena dari tempat tinggal yang layak itulah nantinya seseorang akan mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Namun dalam kenyataannya, masih cukup banyak saudara-saudara kita yang masih hidup dalam kemiskinan, dan tidak mampu memiliki rumah yang layak huni. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat yang mampu untuk membantu keluarga yang tidak mampu untuk menyiapkan tempat tinggal yang memadai. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimanakah cara mewujudkan perumahan bagi mereka. Penulis yakin, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat sudah mempunyai berbagai program pembangunan perumahan bagi mereka yang tidak mampu. Akan tetapi karena jumlah keluarga miskin yang masih banyak, sehingga sampai saat ini masih banyak keluarga yang tidak mempunyai rumah atau tempat tinggal yang layak. Untuk mengatasi masalah tersebut, sudah selayaknya masyarakat juga menggali lembaga-lembaga yang potensial untuk dikembangkan, yang dapat dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan program pembangunan rumah bagi mereka yang tidak mampu. Salah satu lembaga yang dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak adalah wakaf.  

Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam dan telah menfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan mereka melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun masyarakat. Sebagai contoh misalnya di bidang kesehatan, lembaga wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meningkatan kesehatan masyarakat dan fasilitas pendidikan  dengan pembangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri obat-obatan serta kimia, di bidang social misalnya menyediakan perumahan bagi mereka yang tidak mampu, fasilitas umum, dan lain-lain. Dilihat dari segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat, termasuk menyediakan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu.



Untuk mengembangkan wakaf produktif di Indonesia pada saat ini sudah tidak ada masalah lagi, karena dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sudah diatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif. Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang sudah ada selama ini,  dalam Undang-Undang tentang Wakaf ini terdapat  beberapa hal baru dan penting. Beberapa di antaranya adalah mengenai masalah  nazhir (pengelola wakaf), harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), dan peruntukan harta wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.



Di berbagai negara, harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Sebelum Rancangan Undang-Undang Tentang Wakaf dirumuskan, pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut.
1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
  
Berdasarkan fatwa tersebut maka TIM Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf merumuskan aturan yang berkenaan dengan wakaf benda bergerak termasuk uang. Wakaf uang penting sekali dikembangkan di negara-negara yang kondisi perekonomian yang kurang baik, karena berdasarkan pengalaman di berbagai negara hasil investasi wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di negara yang bersangkuatan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Adapun pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.  

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, wakaf sangat memungkinkan dikelola secara produktif. Yang harus dipersiapkan dengan baik adalah para nazhirnya, karena apabila kita ingin mengelola wakaf secara produktif, maka nazhirnya harus professional. Nazhir adalah salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan wakaf. Mengingat pentingnya nazhir dalam pengelolaan wakaf, maka dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, nazhir ditetapkan sebagai unsur perwakafan. Nazhir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda wakaf. Dengan demikian nadzir dapat diartikan sebagai orang atau pihak yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurus, mengelola, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.  Dari pengertian nazhir yang sudah dikemukakan jelas bahwa dalam perwakafan nazhir memegang peranan yang sangat penting. Supaya harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus maka harta itu harus dijaga, dipelihara, dan dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di mana dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Jelaslah bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu berwakafan bergantung pada nadzir.



Wakaf pada dasarnya adalah “economic corporation”, sehingga wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa pelayanan maupun pemanfaatan hasilnya secara langsung. Bentuk-bentuk wakaf yang sudah dikemukakan tersebut merupakan bagian atau unit dana investasi. Investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi. Investasi sendiri memiliki arti mengarahkan sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang untuk membentuk Modal produksi, yang mampu menghasilkan manfaat/barang dan dapat digunakan untuk generasi mendatang. Investasi yang dimaksud berupa investasi yang kepemilikan dan tujuannya mampu menghasilkan keuntungan yang direncanakan secara ekonomi dan hasilnya disalurkan untuk mereka yang ditentukan oleh wakif dalam ikrar wakaf.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara ekonomi, wakaf (Islam) adalah membangun harta produktif melalui kegiatan investasi untuk kepentingan mereka yang memerlukan yang telah ditetapkan dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, hasil atau produk harta wakaf dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, wakaf langsung, yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, dan pemukiman. Kedua, wakaf produktif, yaitu wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan produksi barang dan jasa pelayanan yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Dalam bentuk ini, Modalnya (harta wakaf) diinvestasikan, kemudian hasil investasi tersebut didistribusikan kepada mereka yang berhak.  Sebagai contoh, ada seseorang yang sudah mewakafkan tanahnya seluas 10 ribu meter persegi. Kemudian nazhir mencari wakif lain untuk mewakafkan hartanya sejumlah dana yang diperlukan untuk membangun apartemen tersebut. Setelah apartemen tersebut terwujud, kemudian disewakan, hasil sewanya oleh nazhir diserahkan kepada mauquf ‘alaih. Akan tetapi jika nazhir tidak memperoleh wakif yang mau berwakaf sejumlah dana yang diperlukan, nazhir dapat mencari investor atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, seperti nazhir bekerjasama dengan Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Departemen Kesehatan, dan lain-lain.

Jika para nazhir (pengelola wakaf) di Indonesia mau dan mampu bercermin pada pengelolaan wakaf yang sudah dilakukan oleh berbagai negara, saya yakin hasil pengelolaan wakaf di Indonesia dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang ada saat ini dan masih dihadapi oleh sebagian bangsa Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, tempat tinggal, dan masalah sosial lainnya, apalagi jika wakaf yang diterapkan di Indonesia tidak dibatasi pada benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Sayangnya, selama ini wakaf yang diterapkan di Indonesia pada umumnya adalah benda tidak bergerak, dan berdasarkan data yang ada di Departemen Agama RI, pemanfaatan tanah wakaf pada umumnya juga bersifat langsung (konsumtif).  

Yang menjadi masalah berikutnya adalah mampukah nazhir wakaf yang ada di Indonesia mengelola wakaf sebagaimana yang sudah dilakukan oleh nazhir di negara-negara lain? Untuk menjawab masalah ini tidaklah mudah. Namun apabila kita mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada dan perkembangan ekonomi syariah, pengelolaan wakaf secara produktif sangat memungkinkan untuk direalisasikan. Yang paling penting adalah komitmen bersama antara nazhir wakaf itu sendiri, masyarakat, khususnya umat Islam dan pemerintah untuk mengelola wakaf produktif guna menyelesaikan masalah kemiskinan.