Kamis, 11 November 2010

Wakaf Produktif untuk Kesejahteraan Umat

Di beberapa negara Islam, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang mampu memperdayakan ekonomi rakyat. Yang menjadi pertanyaan adalah, di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, wakaf belum dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Padahal sampai saat ini kemiskinan masih menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang sangat menakutkan sehingga semua orang akan selalu berusaha memerangi kemiskinan. Indonesia adalah salah satu negara yang jumlah penduduk miskinnya masih memprihatinkan. Walaupun Pemerintah sudah berusaha untuk menanggulangi kemiskinan, namun sampai saat ini ternyata belum juga terselesaikan. Apalagi beberapa tahun terakhir, di Indonesia terjadi berbagai bencana, mulai dari tsumani di Aceh, gempabumi di Yogyakarta dan di beberapa daerah, tanah longsor, lumpur Lapindo, Jebolnya Situ Gintung, dan berbagai bencana yang lain. Bencana alam tersebut menyebabkan banyak orang kehilangan hartabenda, termasuk tempat tinggalnya. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa di negeri yang subur ini masih ada masalah yang harus ditanggulangi. Berdasarkan data yang ada pada Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2008, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 34,96 juta.  Jumlah ini merupakan jumlah yang membahayakan bagi negara apabila  tidak segera diatasi. Oleh karena itu, kemiskinan harus segera diperangi bersama-sama, antara pemerintah dan masyarakat, agar hidup warganegara Indonesia sejahtera.

Untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Akan tetapi sampai saat ini jumlah masyarakat miskin ternyata masih mengkhawatirkan, dan kesejahteraan masih jauh dari jangkauan sebagian dari masyarakat. Padahal setiap manusia di dunia ini mempunyai hak atas kesejahteraan, oleh karena itu dalam tataran idealis, setiap manusia seharusnya memperoleh hak atas kesejahteraan.  Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa salah satu hak yang harus dimiliki manusia adalah hak atas kesejahteraan. Salah satu hak dari hak-hak atas kesejahteraan adalah hak untuk bertempat tinggal. Dalam Pasal 40 Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Hal ini berarti bahwa sudah seharusnya setiap warga negara Indonesia mempunyai tempat tinggal yang layak, karena dari tempat tinggal yang layak itulah nantinya seseorang akan mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Namun dalam kenyataannya, masih cukup banyak saudara-saudara kita yang masih hidup dalam kemiskinan, dan tidak mampu memiliki rumah yang layak huni. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat yang mampu untuk membantu keluarga yang tidak mampu untuk menyiapkan tempat tinggal yang memadai. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimanakah cara mewujudkan perumahan bagi mereka. Penulis yakin, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat sudah mempunyai berbagai program pembangunan perumahan bagi mereka yang tidak mampu. Akan tetapi karena jumlah keluarga miskin yang masih banyak, sehingga sampai saat ini masih banyak keluarga yang tidak mempunyai rumah atau tempat tinggal yang layak. Untuk mengatasi masalah tersebut, sudah selayaknya masyarakat juga menggali lembaga-lembaga yang potensial untuk dikembangkan, yang dapat dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan program pembangunan rumah bagi mereka yang tidak mampu. Salah satu lembaga yang dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak adalah wakaf.  

Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam dan telah menfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan mereka melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun masyarakat. Sebagai contoh misalnya di bidang kesehatan, lembaga wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meningkatan kesehatan masyarakat dan fasilitas pendidikan  dengan pembangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri obat-obatan serta kimia, di bidang social misalnya menyediakan perumahan bagi mereka yang tidak mampu, fasilitas umum, dan lain-lain. Dilihat dari segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat, termasuk menyediakan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu.



Untuk mengembangkan wakaf produktif di Indonesia pada saat ini sudah tidak ada masalah lagi, karena dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sudah diatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif. Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang sudah ada selama ini,  dalam Undang-Undang tentang Wakaf ini terdapat  beberapa hal baru dan penting. Beberapa di antaranya adalah mengenai masalah  nazhir (pengelola wakaf), harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), dan peruntukan harta wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.



Di berbagai negara, harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Sebelum Rancangan Undang-Undang Tentang Wakaf dirumuskan, pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut.
1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
  
Berdasarkan fatwa tersebut maka TIM Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf merumuskan aturan yang berkenaan dengan wakaf benda bergerak termasuk uang. Wakaf uang penting sekali dikembangkan di negara-negara yang kondisi perekonomian yang kurang baik, karena berdasarkan pengalaman di berbagai negara hasil investasi wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di negara yang bersangkuatan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Adapun pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.  

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, wakaf sangat memungkinkan dikelola secara produktif. Yang harus dipersiapkan dengan baik adalah para nazhirnya, karena apabila kita ingin mengelola wakaf secara produktif, maka nazhirnya harus professional. Nazhir adalah salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan wakaf. Mengingat pentingnya nazhir dalam pengelolaan wakaf, maka dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, nazhir ditetapkan sebagai unsur perwakafan. Nazhir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda wakaf. Dengan demikian nadzir dapat diartikan sebagai orang atau pihak yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurus, mengelola, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.  Dari pengertian nazhir yang sudah dikemukakan jelas bahwa dalam perwakafan nazhir memegang peranan yang sangat penting. Supaya harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus maka harta itu harus dijaga, dipelihara, dan dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di mana dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Jelaslah bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu berwakafan bergantung pada nadzir.



Wakaf pada dasarnya adalah “economic corporation”, sehingga wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa pelayanan maupun pemanfaatan hasilnya secara langsung. Bentuk-bentuk wakaf yang sudah dikemukakan tersebut merupakan bagian atau unit dana investasi. Investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi. Investasi sendiri memiliki arti mengarahkan sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang untuk membentuk Modal produksi, yang mampu menghasilkan manfaat/barang dan dapat digunakan untuk generasi mendatang. Investasi yang dimaksud berupa investasi yang kepemilikan dan tujuannya mampu menghasilkan keuntungan yang direncanakan secara ekonomi dan hasilnya disalurkan untuk mereka yang ditentukan oleh wakif dalam ikrar wakaf.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara ekonomi, wakaf (Islam) adalah membangun harta produktif melalui kegiatan investasi untuk kepentingan mereka yang memerlukan yang telah ditetapkan dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, hasil atau produk harta wakaf dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, wakaf langsung, yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, dan pemukiman. Kedua, wakaf produktif, yaitu wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan produksi barang dan jasa pelayanan yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Dalam bentuk ini, Modalnya (harta wakaf) diinvestasikan, kemudian hasil investasi tersebut didistribusikan kepada mereka yang berhak.  Sebagai contoh, ada seseorang yang sudah mewakafkan tanahnya seluas 10 ribu meter persegi. Kemudian nazhir mencari wakif lain untuk mewakafkan hartanya sejumlah dana yang diperlukan untuk membangun apartemen tersebut. Setelah apartemen tersebut terwujud, kemudian disewakan, hasil sewanya oleh nazhir diserahkan kepada mauquf ‘alaih. Akan tetapi jika nazhir tidak memperoleh wakif yang mau berwakaf sejumlah dana yang diperlukan, nazhir dapat mencari investor atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, seperti nazhir bekerjasama dengan Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Departemen Kesehatan, dan lain-lain.

Jika para nazhir (pengelola wakaf) di Indonesia mau dan mampu bercermin pada pengelolaan wakaf yang sudah dilakukan oleh berbagai negara, saya yakin hasil pengelolaan wakaf di Indonesia dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang ada saat ini dan masih dihadapi oleh sebagian bangsa Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, tempat tinggal, dan masalah sosial lainnya, apalagi jika wakaf yang diterapkan di Indonesia tidak dibatasi pada benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Sayangnya, selama ini wakaf yang diterapkan di Indonesia pada umumnya adalah benda tidak bergerak, dan berdasarkan data yang ada di Departemen Agama RI, pemanfaatan tanah wakaf pada umumnya juga bersifat langsung (konsumtif).  

Yang menjadi masalah berikutnya adalah mampukah nazhir wakaf yang ada di Indonesia mengelola wakaf sebagaimana yang sudah dilakukan oleh nazhir di negara-negara lain? Untuk menjawab masalah ini tidaklah mudah. Namun apabila kita mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada dan perkembangan ekonomi syariah, pengelolaan wakaf secara produktif sangat memungkinkan untuk direalisasikan. Yang paling penting adalah komitmen bersama antara nazhir wakaf itu sendiri, masyarakat, khususnya umat Islam dan pemerintah untuk mengelola wakaf produktif guna menyelesaikan masalah kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar