Indonesia adalah salah satu Negara yang dikenal dengan alamnya yang subur, namun kenyataannya masih ada sebagian masyarakat yang hidupnya masih memprihatinkan, sehingga memerlukan perhatian khusus. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk tidak memiliki tempat tinggal. Padahal setiap orang berhak mempunyai tempat tinggal yang aman dan layak, yakni tempat tinggal yang dapat melindungi kesehatan fisik dan mental serta kualitas hidup orang yang tinggal di dalamnya. Perumahan yang layak secara umum dapat dipandang sebagai salah satu kebutuhan paling mendasar bagi setiap manusia. Dukungan-dukungan dalam mewujudkan tempat tinggal dan pemukiman yang layak telah beberapa kali digerakkan oleh PBB dan Pusat Pemukiman Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini diawali dengan Deklarasi Vancover Tentang Pemukiman manusia yang disuarakan pada tanggal 1976, yang diikuti oleh aklamasi Tahun Internasional untuk tempat tinggal bagi orang yang tidak memiliki rumah (1987) dan Ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Strategi Global untuk Pemukiman hingga tahun 2000. Hak atas perumahan yang layak mendapat pengakuan secara universal oleh masyarakat dari berbagai bangsa. Setiap bangsa tanpa terkecuali memiliki sejumlah kewajiban dalam masalah perumahan. Setiap warganegara dalam negara semiskin apapun, dirinya mempunyai hak untuk diperhatikan kebutuhan mereka atas perumahan.
Di Indonesia, hak menempati atau memiliki rumah yang layak huni, selain diatur dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM sebagaimana sudah dikemukakan, juga diatur dalam TAM MPR No. XVII/1998 Pasal 29 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992. Hal ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi setiap warnanegara. Sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa, pada saat ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat memiliki beberapa program yang erat kaitannya dengan penyediaan perumahan rakyat yang kurang mampu, seperti program pembangunan rusunami dan rusunawa. Akan tetapi sehubungan dengan banyaknya penduduk yang harus ditangani dan keterbatan pemerintah dalam menyediakan dana, komitmen pemerintah tersebut belum dapat direalisasikan secara optimal. OLeh karena itu, untuk membantu program-program pemerintah dalam menyediakan tempat tinggal kaum dlu’afa, sudah saatnya kita mengembangkan wakaf secara produktif.
Di negara-negara yang sudah mengembangkan harta wakafnya dengan baik, ternyata hasil pengembangan wakafnya dapat dipergunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan membantu permasalahan kaum dlu’afa, termasuk menyiapkan perumahan bagi mereka. Sebagai contoh misalnya, Kuwait, Turki, dan lain-lain. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah tanah wakafnya cukup banyak dan luas. Berdasarkan data yang ada di Departemen Agama RI pada bulan Maret 2008 di Indonesia terdapat 430,766 lokasi dengan luas 1,615,791,832.27 meter persegi. Sayangnya, tanah yang begitu luas tersebut tidak dikembangkan secara produktif, sehingga wakaf yang seharusnya dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan perekonomian umat, kadangkala justru sebaliknya, yakni menjadi beban masyarakat, baik dari segi pemeliharaannya maupun dari segi permasalahan yang muncul. Bahkan tidak jarang kita temui masjid yang tidak dipelihara dengan baik oleh para nazhir, sehingga untuk mengurus dan melestarikannya diperlukan bantuan masyarakat melalui kotak amal yang diedarkan di tengah jalan raya, atau ada tanah wakaf yang dikarenakan kelengahan dari nazhir, akhirnya wakaf diserobot oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini perwakafan di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Alhamdulillah pada saat ini kita sudah memiliki Undang-undang Tentang wakaf, yakni Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Jika diperhatikan, definisi yang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut tidaklah begitu berbeda dengan definisi yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, atau definisi yang dipilih oleh Mundzir Kahaf. Definisi yang ada dalam Undang-undang Tentang Wakaf mengandung muatan ekonomi, karena dalam definisi itu disebutkan bahwa wakaf berarti memindahkan harta dari sesuatu yang bersifat konsumsif menjadi produktif dan menghasilkan sesuatu yang dapat dikonsumsi di masa yang akan datang. Harta wakaf produktif ini menghasilkan pelayanan dan manfaat, seperti masjid, rumah sakit, sekolahan, dan lain-lain. Di samping itu, wakaf juga dapat menghasilkan barang atau pelayanan lainnya yang dapat dijual kepada para pemakai dan hasil bersihnya dapat disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian, wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi di masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan dan pemanfaatan hasilnya secara langsung. Semua bentuk wakaf yang telah disebutkan itu menjadi saham, dan bagian atau unit dana investasi. Sistem wadiah untuk tujuan investasi di bank-bank Islam merupakan bentuk wakaf modern yang paling penting, karena wakaf seperti itu dapat memberi gambaran tentang kebenaran dimensi ekonomi wakaf dalam Islam. Hal ini sebenarnya pernah dipraktikkan oleh para sahabat, bermula dari wakaf sumur Raumah oleh Utsman bin ‘Affan r.a., wakaf tanah perkebunan di Khaibar oleh Umar bin Khattab, r.a., kemudian disusul dengan wakaf tanah, pohon-pohonan dan bangunan oleh para sahabat lainnya. Paradigma wakaf seperti ini juga telah dinyatakan oleh para Imam Mazhab pada abad 2 dan 3 Hijriyyah dalam beberapa kajian dan uraian fikih mereka. Hal ini tidak lain karena saham dan wadiah mengandung makna investasi yang bertujuan mengembangkan harta produktif untuk dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, sedangkan investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi.
Dalam Undang-Undang Tentang Wakaf, selain wakaf produktif juga diatur tentang wakaf uang. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis. Dalam ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Proses pelaksanaan wakaf uang ini diatur secara jelas dalam Pasal 22 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 sebagai berikut: Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
a. hadir di Lembaga Keuangan Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
b. menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
c. menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai AIW.
Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya. Hal ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 22 ayat (4). Dalam ayat (5) Pasal yang sama disebutkan bahwa Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan AIW tersebut kepada LKS-PWU. Di samping Pasal tertsebut, masih cukup banyak pasal-pasal yang berkenaan dengan perwakafan wakaf uang dan wakaf bergerak lain serta peraturan untuk mengembangkannya.
Pengelolaan wakaf produktif dan wakaf uang memang tidak mudah, karena dalam pengembangannya harus melalui berbagai usaha, dan usaha ini mempunyai resiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, khususnya wakaf produktif dan wakaf uang harus dilakukan oleh nazhir yang profesional. Diharapkan nadzir benar-benar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat. Untuk mendapatkan nazhir yang mampu mengembangkan wakaf secara produktif tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh karena itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, harus ada lembaga yang siap melakukan pelatihan bagi calon nadzir.
Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Tentang wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Adapun tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1). Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Adapun ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam Pasal 50 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Tentang Wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia menuju era produktif, yaitu wakaf yang dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umum.
Dari peraturan perundang-undangan yang ada, jelas bahwa pada saat ini umat Islam khususnya dan masyarakat umumnya dapat mengembangkan wakaf secara produktif, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak. Apabila wakaf yang ada di Indonesia dikembangkan secara produktif, penulis yakin hasil dari pengembangan wakaf tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat termasuk menyediakan perumahan rakyat bagi masyarakat yang tidak mampu, dengan catatan wakaf tersebut harus dikelola oleh nazhir-nazhir yang profesional. Mengenai wakaf untuk pembangunan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu, menurut penulis ada beberapa cara, pertama, yang bersifat langsung; kedua yang bersifat tidak langsung. Yang bersifat langsung, misalnya wakif mewakafkan sebidang tanah yang ditujukan untuk perumahan kaum dlu’afa, jika wakif tidak menyediakan dana untuk membangun rumah, nazhir mencarikan dana, dapat berupa dana wakaf atau dana lain untuk membangun perumahan bagi mereka. Sedangkan yang bersifat tidak langsung, tanah yang diwakafkan tersebut dikembangkan lebih dahulu oleh nazhir melalui pembangunan rumah mewah tentunya, hasil (keuntungan) dari pengembangan itulah yang dimanfaatkan untuk membangun perumahan rakyat yang tidak mampu. Dalam hal ini nazhir dapat bekerja sama dengan lembaga manapun, asal kerjasama tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Di samping dua cara tersebut, masih ada cara-cara lain, tergantung pada kreatifitas nazhir. Keberhasilan Kuwait, Turki dan lain-lain dalam mengembangkan wakaf untuk menyedikan perumahan bagi mereka yang tidak mampu selayaknya kita pelajari untuk kemudian kita ikuti.
Sebagaimana negara-negara lain, nazhir di Indonesia seharusnya juga mampu mengelola wakaf melalui berbagai investasi. Dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif, antara lain dengan melakukan investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, serta pendidikan atau kesehatan, dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (2) tersebut, nazhir diberi kesempatan untuk mengembangkan wakaf yang dikelolanya secara produktif sesuai dengan benda yang diwakafkan, tujuan wakif, dan keadaan mauquf ‘alaihnya. Yang paling penting dalam pengelolaan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan selalu berdasarkan syariat Islam.
bwi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar